Jakarta (ANTARA) - Menjelang serah terima tampuk kepemimpinan dari Joko Widodo dan Ma'ruf Amin kepada Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil presiden RI, maka program-program yang dicanangkan saat kampanye mulai disiapkan secara detail.
Salah satu program penting yang harus dilaksanakan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah sektor perumahan yang targetnya dinaikkan, dari semula satu juta menjadi tiga juta per tahun (naik tiga kali lipat).
Sementara itu, di sisi lain tantangan yang dihadapi khususnya di bidang makro ekonomi juga kian ketat.
Ekonomi tetap harus tumbuh 5,2 persen (seusai target) namun bayang-bayang ketidakpastian masih menyelimuti pencapaiannya pada tahun 2025. Bayang-bayang inflasi yang dipicu krisis pangan dunia masih menjadi tantangan yang tidak ringan.
Stabilitas inflasi di 2025 menjadi target yang tidak bisa ditawar-tawar apabila suku bunga perbankan ingin diturunkan dan daya beli masyarakat ingin dikuatkan. Daya beli menjadi kunci apabila target tiga juta rumah ingin terealisasi.
Banyak aspek yang harus dipertimbangkan untuk merealisasikan program tiga juta rumah, mulai dari pembiayaan, pengadaan tanah, bahan bangunan, perizinan, hingga subsidi bagi masyarakat sasaran. Semua itu tidak bisa sekadar kebijakan yang biasa-biasa, tetapi harus ada solusi yang luar biasa.
Pengusaha Hashim Djojohadikusumo dalam Rakernas Paguyuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) menyebutkan program tiga juta rumah mendesak direalisasikan untuk menyasar masyarakat Indonesia yang masih tinggal di rumah tidak layak huni.
Tidak layak huni dalam arti belum dialiri listrik, lantai masih tanah, sulit air bersih, dan minim sanitasi. Semua itu menjadi target Pemerintah ke depan sehingga untuk mengatasi seluruh persoalan tersebut, kementerian yang bertanggung jawab dalam kebijakan penyediaan rumah harus diperkuat.
Hashim mendukung usulan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) untuk membentuk kementerian khusus di bidang perumahan. Pengalaman menunjukkan kehadiran kementerian yang fokus di bidang perumahan mampu mengatasi kendala dalam penyediaan rumah terutama rumah layak huni bagi masyarakat yang menjadi sasaran.
Daya beli
Bagi generasi mendatang, membeli rumah layak huni bukanlah perkara mudah mengingat kian melebarnya kesenjangan antara penghasilan dengan harga rumah. Solusi mengatasi hal itu selain pendanaan perbankan (KPR/KPA) dengan bunga ringan, kemudahan uang muka, tentunya ketersediaan subsidi.
Survei Pinhome menyebut pasar properti terbesar masih dari kalangan milenial (53 persen), disusul Gen Z: 26 persen, Gen X: 20 persen, dan Baby Boomer: 1 persen. Mereka itu, sebanyak 76 persen berstatus menikah yang memang membutuhkan rumah bagi keluarganya.
Masih dari survei tersebut, motivasi membeli rumah sebanyak 49 persen kebutuhan keluarga, 48 persen kondisi ekonomi stabil, sedangkan 34 persen untuk investasi.
Lantas terkait pembiayaan rumah, tabungan masih menempati posisi tertinggi 53 persen, disusul kemudian pinjaman dari keluarga 29 persen, kredit perbankan 28 persen, dan pinjaman nonperbankan 26 persen.
Tak hanya itu generasi mendatang juga dikenal sebagai generasi sandwich yang terjepit untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga untuk memiliki rumah tentunya membutuhkan upaya sehingga tanpa adanya dukungan pendanaan tentu akan sulit untuk memiliki rumah.
Fenomena juga memperlihatkan 18 persen generasi sekarang ini membeli rumah dengan menggunakan tabungan pribadi dan bantuan keluarga, sedangkan mereka yang memanfaatkan fasilitas KPR/KPA turun 8 persen pada kuartal II di bandingkan kuartal I 2024.
Adapun untuk gambaran lokasi rumah di kawasan Jabodetabek yang diminati memperlihatkan bahwa Bogor masih menjadi sasaran utama, mencapai 56 persen diikuti dengan Bekasi (23 persen), Depok (11 persen), Tangerang (8 persen), dan Jakarta (2 persen).
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024